Selasa, 02 Juni 2015

"Kebudayaan Dalam Alkitab dan Implementasinya di Zaman Modern"



 



BAB I
PENDAHULUAN


Para penulis Alkitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mencerminkan latar belakang sosial di zaman mereka. Inspirasi Roh Kudus telah melindungi mereka dari kekeliruan, namun sudut pandang penulis muncul dari kebudayaan zaman mereka. Kini Alkitab yang ditulis oleh mereka, diakui dan dipercayai sebagai otoritas tertinggi dalam perilaku dan moral. 


Namun apakah kebudayaan-kebudayaan yang tertuang di dalam Alkitab PL dan PB, harus dikenakan dalam kebudayaan modern? Bagaimana mengimplementasikan kebudayaan-kebudayaan PL dan PB dalam Kebudayaan Modern saat ini? Apakah ada suatu cara yang dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk mengevalusi kebudayaan-kebudayaan tersebut? Bagaimana kita mengetahui yang salah dan benar dalam kebudayaan modern saat ini?


Berdasarkan rumusan masalah ini, maka penulis tertarik untuk menulis makalah ini dengan judul: 

“Implementasi Kebudayaan 
Perjanjian Lama Dan Perjanjian Baru
Dalam Kebudayaan Modern”



Tujuan
Tujuan Penulisan Makalah ini adalah: Untuk mengenal kebudayaan PL dan PB, serta mengetahui bagaimana mengimplemetasikan kebudayaan Alkitab itu dalam Kebudayaan Modern ini.
Batasan/Ruang Lingkup
Makalah ini hanya dibatasi pada pokok-pokok pembahasan mengenai budaya masyarakat dalam Alkitab PL dan PB, serta Kebudayaan Modern dan pengaruhnya.




BAB II
DASAR TEORI



Istilah Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.[1]
Ada tiga arus penggunaan istilah budaya, yaitu: Pertama; Mengacu pada perkembangan intelektual dan spiritual seseorang atau sekelompok masyarakat. Kedua; Mengacu pada Kesenian dan benda-benda seni. Ketiga; Mengacu pada keseluruhan cara hidup, adat istiadat dan kebiasaan sejumlah orang.[2]
Dari definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan, bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan, meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga nyata kemudian dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain. 
Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.[3]
Unsur-unsur budaya terdiri atas:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan[4]



KEBUDAYAAN PERJANJIAN LAMA


Yang dimaksudkan dengan budaya Perjanjian Lama, ialah budaya manusia yang hidup di zaman dimana peristiwa-peristiwa yang tertulis dalam Alkitab Perjanjian Lama terjadi. Secara khusus dapat dikatakan bahwa manusia yang dimaksud ialah bangsa Israel atau lebih khusus lagi, bapak-bapak leluhur bangsa Israel seperti Abraham, Ishak dan Yakub.[5] 

Walaupun penulis Alkitab sendiri melihatnya sebagai peristiwa dan moral yang mengandung nilai-nilai rohani untuk memberikan nilai-nilai etis dan moral bagi kehidupan bangsa Israel, namun peristiwa-peristiwa itu juga dapat dilihat dari segi kebudayaan.
Membahas kebudayaan Perjanjian Lama, sangat luas, oleh sebab itu maka dalam pembahasan ini, penulis membatasi dengan hanya membahas Kebudayaan Perjanjian Lama yang berkenaan dengan: Adat Istiadat Masyarakat dalam zaman PL.
Salah satu ciri khas adat ketimuran orang Israel umumnya maupun Yahudi khususnya ialah keramahtamahan. Tamu mana pun yang masuk ke dalam rumah seorang Yahudi akan disambut dengan salam hangat. (Kej. 24:1-67). 

Perkawinan                                        
Perkawinan dalam PL diterima sebagai suatu norma umum (tidak ada kata "bujangan" dalam bahasa Ibrani). Dalam seluruh PL, ditunjukkan bentuk-bentuk penyelewengan pernikahan yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Israel, misalnya dalam praktek-praktek poligami dan perceraian.

Meminang
Sebagaimana cerita Eliezer, perkawinan dalam Perjanjian Lama diatur oleh keluarga atau khususnya orang tua. Pihak lelaki datang ke pihak perempuan untuk meminang seorang gadis yang diinginkan oleh orang tua pihak lelaki. Hal ini terjadi misalnya pada Ismael (Kej. 21:21), Ishak (Kej. 24), dan Yakob (Kej. 28:1-3). 

Dalam kasus Ishak, maka Eliezerlah yang menjadi perantara. Seorang perantara disebut sebagai "sahabat pengantin"  Sahabat pengantin ini dalam tugasnya sebagai perantara bertindak atas nama pengantin dan ia sudah diberitahukan terlebih dahulu tentang kesanggupan dan kemampuan pengantin sampai berapa banyak pemberian yang dapat pengantin lelaki berikan kepada pengantin perempuan. 

Ayah dari keluarga pihak perempuan kemudian menimbal untuk menunjuk juga seorang juru bicara mereka. Sebelum kedua belah pihak bernegosiasi, maka minuman kopi disuguhkan kepada rombongan yang datang, namun mereka menolak untuk meminumnya sebelum misi mereka selesai (lihat Kej. 24:33 dalam kasus Eliezer). Setelah kedua juru bicara dari kedua belah pihak berhadapan, maka pembicaraan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pihak perempuan perlu mendapatkan bukti yang bisa dipegang mengenai bentuk pemberian yang akan diterimanya dari pihak lelaki. Bilamana suatu kesepakatan sudah diambil maka kedua juru bicara tadi bangkit berdiri  saling menyalami satu dengan yang lain, dan kopi langsung dibawa dan mereka sama-sama minum sebagai tanda perjanjian yang kesepakatannya telah dicapai.

Untuk menyungguhkan maksudnya, pihak lelaki menyerahkan berbagai hadiah kepada orang tua dan saudara-saudara pihak perempuan. Tetapi bisa juga dengan cara seperti yang dilakukan oleh Yakob misalnya: ia bekerja selama tujuh tahun untuk mendapatkan istrinya (Kej. 29:15-19).
 

Bertunangan
Pertunangan dalam kalangan orang Yahudi merupakan suatu persiapan untuk perkawinan dan bukan hanya suatu perjanjian kawin tanpa ikatan. Pertunangan berarti suatu ikatan pasti untuk perkawinan sehingga tidak mungkin dibatalkan lagi.[6] Hari pertunangan dirayakan dengan suatu pesta dan saling memberi hadiah supaya peristiwa itu menjadi resmi. Masa pertunangan biasanya berlangsung selama satu tahun. Di zaman dahulu kala, orang lelaki Israel yang sedang menjalani masa pertunangan dilarang ikut dalam peperangan supaya ia tidak mati sebelum kawin (Ul. 20:7). 

Masa pertunangan itu dipandang sangat suci sehingga bilamana ada lelaki lain yang bersetubuh dengan wanita yang sedang menjalankan pertunangan, maka si pelanggar akan dihukum dengan lemparan batu sampai mati (Ul. 22:23, 24). Tetapi bilamana si wanita yang digauli tidak bertunangan, maka lelaki itu tidak dilempar dengan batu tetapi harus membayar kepada ayah si wanita dan harus mengawininya.
    

Suami
Dalam masyarakat PL, suami mempunyai kedudukan sebagai "tuan" yang memerintah atas istri dan anak-anak dan keluarga anak- anaknya, juga seluruh anggota keluarga yang lain dan budak-budaknya. Tapi pada sisi yang lain, suami juga menjadi penangungjawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarganya. Suami juga mempunyai tanggungjawab untuk mencarikan istri/suami bagi anak- anaknya. Silsilah keluarga PL diurutkan dengan mengikuti keturunan dari suami, karena suamilah yang memberi identitas dan nama bagi keluarganya (Im. 25:47-49; Yer. 32:68; Rut 2,3,4).Suami dalam PL juga mempunyai fungsi sebagai imam bagi keluarganya.


Istri
Dari Amsal 31 dapat diambil kesimpulan bahwa istri PL tidak hanya melakukan tugas yang sehubungan dengan anak-anak dan rumah saja, Alkitab pada dasarnya memberikan tanggung-jawab yang besar bagi istri PL untuk menguasai bidang- bidang lain di luar rumahnya. Dari tugas yang begitu banyak itu, tugas utama istri adalah untuk menghasilkan keturunan.


Anak-anak
Merupakan suatu dukacita dan aib bagi keluarga PL yang tidak dikaruniai anak, seperti peristiwa yang menimpa Sara dan Hana. Sebaliknya banyak puji-pujian yang ditujukan bagi wanita yang melahirkan banyak anak (Maz. 128).

Anak laki-laki dalam keluarga Yahudi adalah tumpuan harapan bagi pemeliharaan masa tua orang tuanya, yaitu supaya mereka mendapat penguburan yang layak. Anak sulung dalam keluarga Yahudi, baik laki-laki maupun perempuan, mendapat tempat yang istimewa. Sepanjang hidupnya ia akan dituntut untuk memiliki tanggung jawab yang lebih besar atas tindakannya dan tindakan saudara- saudaranya yang lain. Apabila orang tuanya mati, anak sulung akan mendapat bagian warisan dua kali lipat. 

Anak perempuan Yahudi diijinkan menikah sesudah usia 12 tahun. Pada usia itu diharapkan ia telah mempelajari semua kecakapan mengurus rumah tangga dan bagaimana menjadi istri dan ibu yang baik. Apabila karena sesuatu hal suaminya mati, maka ia akan dinikahkan dengan saudara laki-laki dari suaminya untuk menyelamatkan garis keturunan keluarganya. Namun jika suaminya tidak memiliki saudara laki-laki lain yang dapat menikahinya, maka seringkali ia akan kembali ke rumah ayahnya lagi (contoh kasus Rut dalam keluarga Naomi).


Poligami
Walaupun poligami memang ada dalam Perjanjian Lama, namun jangkauannya jangan dilebih-lebihkan, karena hampir terbatas pada raja-raja atau para pemimpin atau pejabat tinggi. Umumnya yang sering terdapat adalah bigami, bukan poligami. Monogami tampaknya biasa terdapat dikalangan rakyat. Bapak-bapak leluhur kadang-kadang dianggap sebagai contoh untuk poligami.

Tetapi poligami harus dibedakan dari perseliran. Kedudukan seorang selir adalah jauh di bawah kedudukan seorang istri, tetapi para selir mempunyai hak legal, sebagaimana dinyatakan dalam Keluaran 21:7:11. Ia tidak dapat dijual kembali oleh tuannya; ia harus diperlakukan sebagai selir satu orang saja, bukan mainan keluarga. Kalau tuannya mengambil selir lain, tuan itu tidak boleh mengabaikan kewajibanya kepada selir yang pertama dalam hal materi maupun seksual.


Perceraian
Perceraian terjadi di kalangan orang Israel bilaman sang suami mendapatkan "ketidakbersihan" pada diri istrinya (Ul. 24: 1). Salah satu contoh mengenai "ketidakbersihan" ini ialah bahwa sang suami waktu menikahi istrinya ternyata bahwa istrinya itu bukan lagi gadis. Kalau ternyata bahwa gadis itu memang bersalah, maka ia harus dihukum mati dengan lemparan batu (Ul.  22:13-21). 

Contoh lain ialah bilamana sang suami mencurigai istrinya melakukan perbuatan zinah. Untuk menjernihkan soal itu sang suami membawa istrinya kepada imam untuk diuji. Ujian ini disebut "ujian kecemburuan" atau bisa juga disebut "ujian berat". Dalam ujian ini, wanita itu disuruh minum air putih. Bilamana ia tidak bersalah, maka air itu tidak akan mendatangkan bahaya baginya.  Tetapi bilamana ia bersalah, maka air itu akan menyebabkannya sakit dan bila demikian halnya, maka ia dihukum dengan lemparan batu sampai mati karena dianggap sebagai seorang pelacur (Bil. 5:11-31). Sejauh masalah perceraian, maka perceraian hanya boleh terjadi kalau sang suami menceraikan istrinya. Sang istri sama sekali tidak mempunyai hak untuk menceraikan suaminya walaupun dengan alasan apa pun.

Hukum-hukum mengenai perceraian menyebutkan tentang keadaan yang tidak mengijinkan adanya perceraian dan aturan-aturan mengenai hubungan kedua belah pihak setelah perceraian terjadi. Dalam kedua kasus ini perlindungan terhadap perempuan rupanya menjadi pokok utama hukum-hukum tersebut. Dalam, Ulangan 22:28-29 ada larangan untuk menceraikan perempuan yang harus dinikahi oleh laki-laki yang telah memperkosanya.






KEBUDAYAAN PERJANJIAN BARU
 

Dengan melihat secara cermat, kita dapat mengetahui bahwa Alkitab Perjanjian Baru mengulang kembali Kebudayaan dalam PL. Namun pada saat yang sama, kita melihat sejumlah aturan Perjanjian Lama (seperti hukum-hukum mengenai perceraian) dibatalkan dalam Perjanjian Baru. Di sini kita dapat melihat sebuah perbedaan dalam situasi sejarah penebusan waktu Kristus membatalkan aturan-aturan yang lama.

Apa yang harus kita perhatikan dalam budaya PB ini, ialah, bahwa baik pemikiran untuk memindahkan budaya-budaya Perjanjian Lama ke dalam Perjanjian Baru, maupun sama sekali tidak mengindahkannya,  kedua-duanya tidak dapat dibenarkan oleh Alkitab sendiri.

Di sini, kita harus berhati-hati untuk membedakan antara tradisi-tradisi Kebudayaan yang diakui oleh Alkitab hanya keberadaannya saja, seperti “gaya musik untuk ibadah pada zaman PL”  dan kebudayaan yang jelas disahkan dan ditahbiskan oleh Alkitab, seperti “Ingat dan kuduskan hari Sabat ”.

Untuk dapat dengan jelas membedakan kedua hal ini, maka perlu dipahami bahwa refleksi kebudayaan PL, tunduk pada penyataan Ilahi. Perikop-perikop PL dengan setia mendeskripsikan banyak kebiasaan di zaman PL, namun ada yang sejalan dengan kehendak Allah dan ada yang bertentangan dengan kehendak Allah. Misalnya: Perkawinan Abraham dengan Hagar.   

Di satu sisi, Abraham melaksanakan sesuai kebudayaan setempat, namun di sisi lain, hal itu tidak sesuai dengan perjanjian Allah. Berdasarkan perspektif  ini, maka banyak tradisi-tradisi dalam PL, yang tidak diterapkan dalam budaya PB. Misalnya: Dalam PL, perceraian masih dapat dilakukan jikalau Istri kedapatan “tidak bersih” Namun dalam PB, Yesus tegas berkata: “Siapa menceraikan Istrinya, ia berbuat Zinah. Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.”

Hal lain yang harus dipahami adalah, banyak aspek dalam kebudayaan PL, diakibatkan oleh perbedaan alami. Umat PL merespon Allah dengan cara-cara yang lazim di zaman mereka. Oleh sebab itu, maka dalam PB, konsekuensi tindakan mereka, tidak lagi dijadikan sebagai norma hukum bagi semua orang, tetapi yang ditekankan dalam PB adalah prinsip kebudayaan tersebut. Sebagai contoh, dalam PL, orang beribadah harus di bait Allah atau di atas Gunung, tetapi ketika Yesus datang ke dalam dunia, Ia berkata: “Penyembah-penyembah benar, akan menyembah Allah dalam roh dan kebenaran” (Yoh 4:23). 

Jadi meskipun Kebudayaan dalam PB, adalah pengulangan kembali tradisi-tradisi dalam PL, namun kebudayaan PB lebih menjujung tinggi makna atau Prinsip-prinsip dari kebudayaan PL. Prinsip-prinsip kebudayaan PL inilah, yang dituntut dalam kebudayaan PB.
Berikut ini beberapa prinsip-prinsip dalam Budaya PB

Etika
Seluruh ajaran Yesus dalam Perjanjian Baru, tentang Allah dan umat-Nya, mempunyai dimensi Etika. Matius pasal 5-7, merupakan koleksi Etika yang lengkap, yang memberikan gambaran yang baik tentang  Etika dalam sebuah Masyarakat baru yang hendak didirikan Yesus Kristus. Etika yang diajarkan Yesus Kristus sebagai suatu budaya dalam PB adalah, “menyatakan dengan cara hidup”.[7]  Artinya, segala sesuatu yang didengar dan diterima dari Allah, harus dinyatakan dengan cara hidup.  Prinsip ini menguasai seluruh Perjanjian Baru. Sistem Etika mempunya suatu dasar, dan segala yang lainnya dikembangkan atas dasar itu.  Dasar dari Etika yang diajarkan Yesus dalam PB, adalah: Kasih. 

Apapun yang seseorang lakukan, harus dilakukan dengan kasih, itulah Etika yang membudaya dalam Perjanjian Baru (Yoh 13:14). Etika PB bukanlah suatu aturan yang dipaksakan dari luar ke dalam diri seseorang, melainkan suatu mutu hidup yang memancar dari dalam ke luar.


Fleksibilitas
Walaupun Budaya dalam Perjanjian Baru, mengulang kembali kebudayaan dalam PL, tetapi Perjanjian Baru mengembangkan Fleksibilitas budaya bagi umat Kristen. Sebagai contoh: Kristus mengutus murid-murid-Nya sampai ke seluruh bangsa di muka bumi. (Mat 28:18-19). Kerajaan Allah yang pada dekade awal ditujukan bagi orang Yahudi, kini harus juga diberitakan ke bangsa-bang non Yahudi.

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam norma-norma kebudayaan dalam PL, kini, diterapkan dalam PB sebagai budaya Perjanjian Baru. Misalnya: Dalam PL, sunat harus dilakukan sebagai tanda perjanjian. Sedangkan dalam PB, “hal bersunat atau tidak bersunat, tidak mempunyai nilai apa-apa” (Gal 5:6). Hal ini bukan berarti Sunat itu jahat, tetapi Paulus merasa bebas untuk melakukan sunat dalam situasi tertentu (Kis 16:3) dan bebas untuk menolaknya dalam situasi lain (Gal 2:3-5).

Fleksibilitas budaya ini, bukanlah suatu pilihan bagi orang Kristen, tetapi PB menuntut hal itu.  Paulus menunjukkan hal ini, dengan menjadi orang Yahudi pada saat ia bersama orang Yahudi dan menjadi orang Yunani, pada saat ia berada di tengah-tengah orang Yunani. Ia berkata: “aku telah menjadi apapun segala-galanya, supaya sedapat mungkin, aku memenangkan orang bagi Kristus.”

Jadi Perjanjian Baru mengarahkan kita untuk berada di atas pola-pola setiap kebudayaan dunia, tanpa mengkompromikan prinsip-prinsip kebudayaan Alkitab PL; “Berada di dalam dunia, tanpa menjadi serupa dengan dunia ini”. Itulah Fleksibilitas budaya PB.

Kerendahan Hati
Selain Etika dan Fleksibilitas, PB juga menjujung tinggi prinsip kerendahan hati sebagai suatu budaya dalam PB. Dalam Matius 6, Ketika Yesus berbicara mengenai Trilogi Kristiani, yaitu Berdoa, Berpuasa dan memberi, Ia sungguh-sungguh menekankan tentang Kerendahan hati. Dalam pengajaran Yesus tentang hal kerajaan Allah, Yesus menyebutkan bahwa: “Jikalau seseorang tidak menjadi seperti anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Ahli Taurat yang merasa dirinya baik dan benar, Yesus katakan, ia tidak dibenarkan Allah, sedangkan pemungut cukai yang tidak berani menatap Allah karena merasa berdosa dan hina, Yesus katakan: “orang ini pulang ke rumah dengan dibenarkan Allah”. (Luk 18:9-14).


Di sini, prinsip Alkitab mengenai kerendahan hati dapat berfaedah. Jikalau prinsip kerendahan hati dipisahkan dari garis-garis pedoman lain yang telah disebutkan dalam PB, maka Allah akan membenci kita, sebab Allah membenci orang yang congkak dan meninggikan orang yang rendah hati.





KEBUDAYAAN MODERN



Untuk memahami budaya Modern, Pertama-tama kita harus membedakan antara Kebudayaan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu yang kompleks. Penilaian-penilaian hitam putih, sebagaimana yang terdapat dalam budaya PL, hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran. 
Kebudayaan Teknologis Modern itu kontradiktif, artinya, budaya ini bebas nilai, netral, bisa dipakai atau tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. 

Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.

Trian Hermawan, mencatat 10 Ciri Budaya Modern sebagai berikut:
·         Penghormatan didasari atas kepribadian orang.
·         Benda dipakai untuk pemberian sebagai tanda solidaritas
·         Orang bebas menyuarakan aspirasi, semua dapat didebatkan, dipersoalkan.
·         Kedudukan berdasarkan ketrampilan, kebijaksanaan, pengetahuan (achieved status).
·          Semua orang mempunyai hak yang sama
·         Kritis terhadap diri sendiri dan orang lain
·         Memisahkan antara agama, faktor sosial, hukum, politik, ekonomi.
·         Alam disakralkan, dan pertanian dipeliharakan berdasarkan ilmu pengetahuan
·         Sukses atau bencana, tidak dianggap sebagai berkat atau hukuman Tuhan
·         Kehidupan lahiriah, mengendalikan kehidupan batiniah.[8]

Pergerakan budaya Modern seperti ini, dipengaruhi oleh budaya-budaya asing. Masuknya budaya asing ke indonesia disebabkan karena adanya krisis globalisasi yang ikut melanda indonesia. Pengaruh tersebut berjalan sangat cepat dan menyangkut berbagai bidang kehidupan. Teknologi yang berkembang pada era globalisasi ini, juga mempengaruhi karakter sosial dan budaya dari lingkungan sosial . 


· Dampak Positif
Modernisasi yang terjadi di Indonesia yaitu pembangunan yang terus berkembang di Indonesia dapat merubah perekonomian indonesia dan mencapai tatanan kehidupan bermasyarakat yang adil, maju, dan makmur. Hal tersebut diharapkan akan mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera baik batin, jasmani dan rohani.


· Dampak Negatif
Budaya yang masuk ke Indonesia seperti cara berpakaian, etika, pergaulan dan yang lainnya sering menimbulkan berbagai masalah sosial diantaranya; kesenjangan sosial ekonomi, kerusakan lingkungan hidup, kriminalitas, dan kenakalan remaja.

                                                                          

BAB III
IMPLEMENTASI KEBUDAYAAN PL DAN PB
DALAM KEBUDAYAAN MODERN

                                                                                 

Ketika hendak mengaplikasikan narasi-narasi PL, dan prinsip-prinsip dalam PB ke dalam dunia Modern ini, maka Alkitab dan pengalaman-pengalaman masa kini, memperhadapkan kita pada beberapa pertanyaan, berkaitan dengan serentetan kebudayaan, seperti:
-   Apakah ada suatu cara yang dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai norma-norma yang ada?
-  Bagaimana kita seharusnya mengevaluasi adat-istiadat di masa PL, PB dan pada masa modern ini?
-   Bagaimana kita membedakan antara yang baik dan yang buruk dalam zaman modern ini?

Untuk menjawab rumusan masalah ini, kita harus menyadari terlebih dahulu bahwa:

Pertama; Kebudayaan berasal dari dua sumber, yaitu Agama dan alam. Agama adalah pengaruh primer di sebuah masyarakat. Namun demikian, agam bukanlah satu-satunya pembentuk kehidupan manusia, sebab kebudayaan tidak hanya tumbuh dari sistem kepercayaan, melainkan juga dari Alam lingkungan kita.

Kedua; Perlunya mengevaluasi kebudayaan masa kini, oleh karena perilaku-perilaku dunia modern, juga berada di bawah pewahyuan-Nya. Alkitab penuh dengan nubuat-nubuat mengenai perilaku-perilaku kejahatan dan pergeseran-pergeseran nilai kerohanian yang akan terjadi pada zaman akhir ini.

Berdasarkan kedua pertimbangan di atas, maka: Untuk mengaplikasikan narasi-narasi PL dalam zaman modern, kita harus melihat praktek-praktek ini, sebagaimana Allah melihatnya. Artinya, ketika sekelompok masyarakat di zaman modern, berjalan sesuai dengan petunjuk wahyu Allah, maka kita harus menilainya secara positif.

Untuk menilai kebudayaan haruslah dimulai dengan mengakui sifat religius manusia. Wahyu umum mewajibkan semua orang berespon untuk taat kepada Allah. Perilaku umum manusia kuno dan modern, sama-sama menunjukkan respon positif dan negatif terhadap wahyu Allah. Oleh sebab itu, ketika kita mengaplikasikan narasi-narasi PL dalam kehidupn modern, maka kita harus mengevaluasi kebudayaannya menurut standar Firman Allah.
Selain itu, mengevalusia kebudayaan juga membutuhkan perspektif yang seimbang, sebab keanekaragaman dalam alam, juga ikut memberntuk kehidupan manusia. Ketika kita mencermati dunia ciptaan Allah, terbukti bahwa Allah menyukai keanekaragaman. 

Kelompok manusia yang tinggal di pesisir mengembangkan gaya hidup yang bertolak belakang dengan mereka yang tinggal di padang gurun. Model transportasi antara mereka yang ada di pegunungan dan mereka yang ada di dataran, menunjukkan pola kebudayaan yang juga berbeda. Dan banyak pola hidup berbudaya yang mencuat dari keanekaragaman fisik tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan standart perspektif yang seimbang, untuk dapat mengevaluasi dan mengimplementasikan kebudayaan PL dan PB secara sah. Manusia modern, mempunyai kebudayaan tersendiri yang tidak sama dengan kebudayaan manusia PL, meskipun demikian, Prinsip PB dapat menjadi alat tolak ukur, yang menilai dan mengeliminasi norma-norma kontemporer dalam dunia modern.




BAB IV
KESIMPULAN


Berdasarkan hasil uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa: Untuk menjembatani gap Kebudayaan antara Kebudayaan Modern dan kebudayaan PL, kita harus menilai sebuah perikop dalam terang PL, kemudian melihat prinsip dari kebudayaan tersebut, yang disahkan dalam ajaran PB. Kemudian, Melihat Kultur Kristen Modern (budaya kita), sebagaimana Allah melihatnya. Dengan prinsip-prinsip ini, kita akan membuat aplikasi yang tepat dan sah dalam kebudayaan modern saat ini.*



Catatan:

Karya ini dilindungi Undang-undang Hak Cipta pasal  72 No. 19  ayat 1 dan 2 tahun 2002.
Boleh dicopy untuk digunakan sebagai bahan pengajaran, dengan mencantumkan alamat penulisan: (http//materikuliahS2melkiorayub.com) Terimakasih, Tuhan Yesus memberkati.






DAFTAR PUSTAKA





[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
[2] Muji Sutrisno & Herman Putranto, Teori-teori Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal 8
[3] Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2006, hal.25
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
[5] Christopher Danes, Masalah-Masalah Moral Sosial Aktual Dalam Perspektif Iman Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal. 58
[6] Dianne Bergant, Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 34
[7] Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 2005, hal. 174
[8] Trian Hermawan, Budaya Modern, Lampung: Universitas Bandar Lampung, 20011, hal. 4

1 komentar:

  1. Kok kajian nya kurang mendalam ya? Padahal materi S2, bukunya juga sedikit sekali..

    BalasHapus