BAB
I
PENDAHULUAN
Para penulis Alkitab
Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru mencerminkan latar belakang sosial di
zaman mereka. Inspirasi Roh Kudus telah melindungi mereka dari kekeliruan,
namun sudut pandang penulis muncul dari kebudayaan zaman mereka. Kini Alkitab
yang ditulis oleh mereka, diakui dan dipercayai sebagai otoritas tertinggi
dalam perilaku dan moral.
Namun apakah kebudayaan-kebudayaan yang
tertuang di dalam Alkitab PL dan PB, harus dikenakan dalam kebudayaan modern?
Bagaimana mengimplementasikan kebudayaan-kebudayaan PL dan PB dalam Kebudayaan
Modern saat ini? Apakah ada suatu cara yang dapat digunakan sebagai tolak ukur
untuk mengevalusi kebudayaan-kebudayaan tersebut? Bagaimana kita mengetahui
yang salah dan benar dalam kebudayaan modern saat ini?
Berdasarkan rumusan masalah ini, maka penulis
tertarik untuk menulis makalah ini dengan judul:
“Implementasi Kebudayaan
Perjanjian Lama Dan Perjanjian Baru
Dalam
Kebudayaan Modern”
Tujuan
Tujuan Penulisan
Makalah ini adalah: Untuk mengenal kebudayaan PL dan PB, serta mengetahui
bagaimana mengimplemetasikan kebudayaan Alkitab itu dalam Kebudayaan Modern ini.
Batasan/Ruang
Lingkup
Makalah ini hanya dibatasi pada
pokok-pokok pembahasan mengenai budaya masyarakat dalam Alkitab PL dan PB,
serta Kebudayaan Modern dan pengaruhnya.
BAB
II
DASAR
TEORI
Istilah Budaya atau kebudayaan
berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk
jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang
berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa
Inggris, kebudayaan disebut
culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan.
Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture
juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.[1]
Ada tiga arus penggunaan istilah budaya, yaitu:
Pertama; Mengacu pada perkembangan intelektual dan spiritual seseorang atau
sekelompok masyarakat. Kedua; Mengacu pada Kesenian dan benda-benda seni.
Ketiga; Mengacu pada keseluruhan cara hidup, adat istiadat dan kebiasaan
sejumlah orang.[2]
Dari definisi tersebut, dapat diperoleh
pengertian mengenai kebudayaan, bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi
tingkat pengetahuan, meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran
manusia, sehingga nyata kemudian dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan
perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai
makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata,
misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial,
religi, seni, dan lain-lain.
Budaya merupakan suatu cara hidup yang
berkembang dan dimiliki bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur, termasuk sistem agama
dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas,
pakaian, bangunan, dan karya seni. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi
dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.[3]
Unsur-unsur budaya terdiri atas:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan1. Sistem religi dan upacara keagamaan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan[4]
KEBUDAYAAN
PERJANJIAN LAMA
Yang dimaksudkan dengan budaya Perjanjian Lama,
ialah budaya manusia yang hidup di zaman dimana peristiwa-peristiwa yang
tertulis dalam Alkitab Perjanjian Lama terjadi. Secara khusus dapat dikatakan
bahwa manusia yang dimaksud ialah bangsa Israel atau lebih khusus lagi,
bapak-bapak leluhur bangsa Israel seperti Abraham, Ishak dan Yakub.[5]
Walaupun penulis Alkitab sendiri melihatnya sebagai peristiwa dan moral yang mengandung nilai-nilai rohani untuk memberikan nilai-nilai etis dan moral bagi kehidupan bangsa Israel, namun peristiwa-peristiwa itu juga dapat dilihat dari segi kebudayaan.
Walaupun penulis Alkitab sendiri melihatnya sebagai peristiwa dan moral yang mengandung nilai-nilai rohani untuk memberikan nilai-nilai etis dan moral bagi kehidupan bangsa Israel, namun peristiwa-peristiwa itu juga dapat dilihat dari segi kebudayaan.
Membahas kebudayaan Perjanjian Lama, sangat
luas, oleh sebab itu maka dalam pembahasan ini, penulis membatasi dengan hanya
membahas Kebudayaan Perjanjian Lama yang berkenaan dengan: Adat Istiadat Masyarakat
dalam zaman PL.
Salah satu ciri khas adat ketimuran orang
Israel umumnya maupun Yahudi khususnya ialah keramahtamahan. Tamu mana pun yang
masuk ke dalam rumah seorang Yahudi akan disambut dengan salam hangat. (Kej.
24:1-67).
Perkawinan
Perkawinan
dalam PL diterima sebagai suatu norma umum (tidak ada kata "bujangan"
dalam bahasa Ibrani). Dalam seluruh PL, ditunjukkan bentuk-bentuk penyelewengan
pernikahan yang dilakukan oleh nenek moyang bangsa Israel, misalnya dalam
praktek-praktek poligami dan perceraian.
Meminang
Sebagaimana cerita Eliezer, perkawinan dalam
Perjanjian Lama diatur oleh keluarga atau khususnya orang tua. Pihak lelaki
datang ke pihak perempuan untuk meminang seorang gadis yang diinginkan oleh
orang tua pihak lelaki. Hal ini terjadi misalnya pada Ismael (Kej. 21:21),
Ishak (Kej. 24), dan Yakob (Kej. 28:1-3).
Dalam kasus Ishak, maka Eliezerlah yang menjadi
perantara. Seorang perantara disebut sebagai "sahabat pengantin" Sahabat pengantin ini dalam tugasnya sebagai
perantara bertindak atas nama pengantin dan ia sudah diberitahukan terlebih
dahulu tentang kesanggupan dan kemampuan pengantin sampai berapa banyak
pemberian yang dapat pengantin lelaki berikan kepada pengantin perempuan.
Ayah dari keluarga pihak perempuan kemudian
menimbal untuk menunjuk juga seorang juru bicara mereka. Sebelum kedua belah
pihak bernegosiasi, maka minuman kopi disuguhkan kepada rombongan yang datang,
namun mereka menolak untuk meminumnya sebelum misi mereka selesai (lihat Kej.
24:33 dalam kasus Eliezer). Setelah kedua juru bicara dari kedua belah pihak
berhadapan, maka pembicaraan dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pihak perempuan
perlu mendapatkan bukti yang bisa dipegang mengenai bentuk pemberian yang akan
diterimanya dari pihak lelaki. Bilamana suatu kesepakatan sudah diambil maka
kedua juru bicara tadi bangkit berdiri saling menyalami satu dengan yang
lain, dan kopi langsung dibawa dan mereka sama-sama minum sebagai tanda
perjanjian yang kesepakatannya telah dicapai.
Untuk menyungguhkan maksudnya, pihak lelaki
menyerahkan berbagai hadiah kepada orang tua dan saudara-saudara pihak
perempuan. Tetapi bisa juga dengan cara seperti yang dilakukan oleh Yakob misalnya:
ia bekerja selama tujuh tahun untuk mendapatkan istrinya (Kej. 29:15-19).
Bertunangan
Pertunangan dalam kalangan orang Yahudi
merupakan suatu persiapan untuk perkawinan dan bukan hanya suatu perjanjian
kawin tanpa ikatan. Pertunangan berarti suatu ikatan pasti untuk perkawinan
sehingga tidak mungkin dibatalkan lagi.[6]
Hari pertunangan dirayakan dengan suatu pesta dan saling memberi hadiah supaya
peristiwa itu menjadi resmi. Masa pertunangan biasanya berlangsung selama satu
tahun. Di zaman dahulu kala, orang lelaki Israel yang sedang menjalani masa
pertunangan dilarang ikut dalam peperangan supaya ia tidak mati sebelum kawin
(Ul. 20:7).
Masa pertunangan itu dipandang sangat suci
sehingga bilamana ada lelaki lain yang bersetubuh dengan wanita yang sedang
menjalankan pertunangan, maka si pelanggar akan dihukum dengan lemparan batu
sampai mati (Ul. 22:23, 24). Tetapi bilamana si wanita yang digauli tidak
bertunangan, maka lelaki itu tidak dilempar dengan batu tetapi harus membayar
kepada ayah si wanita dan harus mengawininya.
Suami
Dalam
masyarakat PL, suami mempunyai kedudukan sebagai "tuan" yang
memerintah atas istri dan anak-anak dan keluarga anak- anaknya, juga seluruh
anggota keluarga yang lain dan budak-budaknya. Tapi pada sisi yang lain, suami juga
menjadi penangungjawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh seluruh anggota
keluarganya. Suami juga mempunyai tanggungjawab untuk mencarikan istri/suami
bagi anak- anaknya. Silsilah keluarga PL diurutkan dengan mengikuti keturunan
dari suami, karena suamilah yang memberi identitas dan nama bagi keluarganya (Im.
25:47-49; Yer. 32:68; Rut 2,3,4).Suami dalam PL juga mempunyai fungsi sebagai
imam bagi keluarganya.
Istri
Dari
Amsal 31 dapat diambil kesimpulan bahwa istri PL tidak hanya melakukan tugas
yang sehubungan dengan anak-anak dan rumah saja, Alkitab pada dasarnya
memberikan tanggung-jawab yang besar bagi istri PL untuk menguasai bidang-
bidang lain di luar rumahnya. Dari tugas yang begitu banyak itu, tugas utama
istri adalah untuk menghasilkan keturunan.
Anak-anak
Merupakan
suatu dukacita dan aib bagi keluarga PL yang tidak dikaruniai anak, seperti
peristiwa yang menimpa Sara dan Hana. Sebaliknya banyak puji-pujian yang
ditujukan bagi wanita yang melahirkan banyak anak (Maz. 128).
Anak
laki-laki dalam keluarga Yahudi adalah tumpuan harapan bagi pemeliharaan masa
tua orang tuanya, yaitu supaya mereka mendapat penguburan yang layak. Anak
sulung dalam keluarga Yahudi, baik laki-laki maupun perempuan, mendapat tempat
yang istimewa. Sepanjang hidupnya ia akan dituntut untuk memiliki tanggung
jawab yang lebih besar atas tindakannya dan tindakan saudara- saudaranya yang
lain. Apabila orang tuanya mati, anak sulung akan mendapat bagian warisan dua
kali lipat.
Anak
perempuan Yahudi diijinkan menikah sesudah usia 12 tahun. Pada usia itu
diharapkan ia telah mempelajari semua kecakapan mengurus rumah tangga dan
bagaimana menjadi istri dan ibu yang baik. Apabila karena sesuatu hal suaminya
mati, maka ia akan dinikahkan dengan saudara laki-laki dari suaminya untuk
menyelamatkan garis keturunan keluarganya. Namun jika suaminya tidak memiliki
saudara laki-laki lain yang dapat menikahinya, maka seringkali ia akan kembali
ke rumah ayahnya lagi (contoh kasus Rut dalam keluarga Naomi).
Poligami
Walaupun poligami memang ada dalam
Perjanjian Lama, namun jangkauannya jangan dilebih-lebihkan, karena hampir
terbatas pada raja-raja atau para pemimpin atau pejabat tinggi. Umumnya yang
sering terdapat adalah bigami, bukan poligami. Monogami tampaknya
biasa terdapat dikalangan rakyat. Bapak-bapak leluhur kadang-kadang dianggap
sebagai contoh untuk poligami.
Tetapi poligami harus dibedakan dari
perseliran. Kedudukan seorang selir adalah jauh di bawah kedudukan seorang
istri, tetapi para selir mempunyai hak legal, sebagaimana dinyatakan dalam
Keluaran 21:7:11. Ia tidak dapat dijual kembali oleh tuannya; ia harus
diperlakukan sebagai selir satu orang saja, bukan mainan keluarga. Kalau tuannya
mengambil selir lain, tuan itu tidak boleh mengabaikan kewajibanya kepada selir
yang pertama dalam hal materi maupun seksual.
Perceraian
Perceraian terjadi di kalangan orang Israel
bilaman sang suami mendapatkan "ketidakbersihan" pada diri istrinya
(Ul. 24: 1). Salah satu contoh mengenai "ketidakbersihan" ini ialah
bahwa sang suami waktu menikahi istrinya ternyata bahwa istrinya itu bukan lagi
gadis. Kalau ternyata bahwa gadis itu memang bersalah, maka ia harus dihukum
mati dengan lemparan batu (Ul. 22:13-21).
Contoh lain ialah bilamana sang suami
mencurigai istrinya melakukan perbuatan zinah. Untuk menjernihkan soal itu sang
suami membawa istrinya kepada imam untuk diuji. Ujian ini disebut "ujian
kecemburuan" atau bisa juga disebut "ujian berat". Dalam ujian
ini, wanita itu disuruh minum air putih. Bilamana ia tidak bersalah, maka air
itu tidak akan mendatangkan bahaya baginya. Tetapi bilamana ia bersalah, maka
air itu akan menyebabkannya sakit dan bila demikian halnya, maka ia dihukum
dengan lemparan batu sampai mati karena dianggap sebagai seorang pelacur (Bil.
5:11-31). Sejauh masalah perceraian, maka perceraian hanya boleh terjadi kalau
sang suami menceraikan istrinya. Sang istri sama sekali tidak mempunyai hak
untuk menceraikan suaminya walaupun dengan alasan apa pun.
Hukum-hukum mengenai perceraian menyebutkan
tentang keadaan yang tidak mengijinkan adanya perceraian dan aturan-aturan
mengenai hubungan kedua belah pihak setelah perceraian terjadi. Dalam kedua
kasus ini perlindungan terhadap perempuan rupanya menjadi pokok utama hukum-hukum
tersebut. Dalam, Ulangan 22:28-29 ada larangan untuk menceraikan perempuan yang
harus dinikahi oleh laki-laki yang telah memperkosanya.
KEBUDAYAAN
PERJANJIAN BARU
Dengan
melihat secara cermat, kita dapat mengetahui bahwa Alkitab Perjanjian Baru mengulang
kembali Kebudayaan dalam PL. Namun pada saat yang sama, kita melihat sejumlah
aturan Perjanjian Lama (seperti hukum-hukum mengenai perceraian) dibatalkan
dalam Perjanjian Baru. Di sini kita dapat melihat sebuah perbedaan dalam
situasi sejarah penebusan waktu Kristus membatalkan aturan-aturan yang lama.
Apa
yang harus kita perhatikan dalam budaya PB ini, ialah, bahwa baik pemikiran untuk
memindahkan budaya-budaya Perjanjian Lama ke dalam Perjanjian Baru, maupun sama
sekali tidak mengindahkannya, kedua-duanya tidak dapat dibenarkan oleh
Alkitab sendiri.
Di
sini, kita harus berhati-hati untuk membedakan antara tradisi-tradisi Kebudayaan
yang diakui oleh Alkitab hanya keberadaannya saja, seperti “gaya musik untuk
ibadah pada zaman PL” dan kebudayaan
yang jelas disahkan dan ditahbiskan oleh Alkitab, seperti “Ingat dan kuduskan
hari Sabat ”.
Untuk
dapat dengan jelas membedakan kedua hal ini, maka perlu dipahami bahwa refleksi
kebudayaan PL, tunduk pada penyataan Ilahi. Perikop-perikop PL dengan setia
mendeskripsikan banyak kebiasaan di zaman PL, namun ada yang sejalan dengan
kehendak Allah dan ada yang bertentangan dengan kehendak Allah. Misalnya:
Perkawinan Abraham dengan Hagar.
Di satu sisi, Abraham melaksanakan sesuai kebudayaan setempat, namun di sisi lain, hal itu tidak sesuai dengan perjanjian Allah. Berdasarkan perspektif ini, maka banyak tradisi-tradisi dalam PL, yang tidak diterapkan dalam budaya PB. Misalnya: Dalam PL, perceraian masih dapat dilakukan jikalau Istri kedapatan “tidak bersih” Namun dalam PB, Yesus tegas berkata: “Siapa menceraikan Istrinya, ia berbuat Zinah. Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.”
Di satu sisi, Abraham melaksanakan sesuai kebudayaan setempat, namun di sisi lain, hal itu tidak sesuai dengan perjanjian Allah. Berdasarkan perspektif ini, maka banyak tradisi-tradisi dalam PL, yang tidak diterapkan dalam budaya PB. Misalnya: Dalam PL, perceraian masih dapat dilakukan jikalau Istri kedapatan “tidak bersih” Namun dalam PB, Yesus tegas berkata: “Siapa menceraikan Istrinya, ia berbuat Zinah. Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia.”
Hal
lain yang harus dipahami adalah, banyak aspek dalam kebudayaan PL, diakibatkan
oleh perbedaan alami. Umat PL merespon Allah dengan cara-cara yang lazim di
zaman mereka. Oleh sebab itu, maka dalam PB, konsekuensi tindakan mereka, tidak
lagi dijadikan sebagai norma hukum bagi semua orang, tetapi yang ditekankan
dalam PB adalah prinsip kebudayaan tersebut. Sebagai contoh, dalam PL, orang
beribadah harus di bait Allah atau di atas Gunung, tetapi ketika Yesus datang
ke dalam dunia, Ia berkata: “Penyembah-penyembah benar, akan menyembah Allah
dalam roh dan kebenaran” (Yoh 4:23).
Jadi
meskipun Kebudayaan dalam PB, adalah pengulangan kembali tradisi-tradisi dalam
PL, namun kebudayaan PB lebih menjujung tinggi makna atau Prinsip-prinsip dari
kebudayaan PL. Prinsip-prinsip kebudayaan PL inilah, yang dituntut dalam
kebudayaan PB.
Berikut
ini beberapa prinsip-prinsip dalam Budaya PB
Etika
Seluruh
ajaran Yesus dalam Perjanjian Baru, tentang Allah dan umat-Nya, mempunyai
dimensi Etika. Matius pasal 5-7, merupakan koleksi Etika yang lengkap, yang
memberikan gambaran yang baik tentang
Etika dalam sebuah Masyarakat baru yang hendak didirikan Yesus Kristus.
Etika yang diajarkan Yesus Kristus sebagai suatu budaya dalam PB adalah,
“menyatakan dengan cara hidup”.[7] Artinya, segala sesuatu yang didengar dan
diterima dari Allah, harus dinyatakan dengan cara hidup. Prinsip ini menguasai seluruh Perjanjian
Baru. Sistem
Etika mempunya suatu dasar, dan segala yang lainnya dikembangkan atas dasar
itu. Dasar dari Etika yang diajarkan
Yesus dalam PB, adalah: Kasih.
Apapun
yang seseorang lakukan, harus dilakukan dengan kasih, itulah Etika yang membudaya
dalam Perjanjian Baru (Yoh 13:14). Etika PB bukanlah suatu aturan yang
dipaksakan dari luar ke dalam diri seseorang, melainkan suatu mutu hidup yang
memancar dari dalam ke luar.
Fleksibilitas
Walaupun
Budaya dalam Perjanjian Baru, mengulang kembali kebudayaan dalam PL, tetapi
Perjanjian Baru mengembangkan Fleksibilitas budaya bagi umat Kristen. Sebagai
contoh: Kristus mengutus murid-murid-Nya sampai ke seluruh bangsa di muka bumi.
(Mat 28:18-19). Kerajaan Allah yang pada dekade awal ditujukan bagi orang
Yahudi, kini harus juga diberitakan ke bangsa-bang non Yahudi.
Prinsip-prinsip
yang terkandung dalam norma-norma kebudayaan dalam PL, kini, diterapkan dalam PB
sebagai budaya Perjanjian Baru. Misalnya: Dalam PL, sunat harus dilakukan
sebagai tanda perjanjian. Sedangkan dalam PB, “hal bersunat atau tidak
bersunat, tidak mempunyai nilai apa-apa” (Gal 5:6). Hal ini bukan berarti Sunat
itu jahat, tetapi Paulus merasa bebas untuk melakukan sunat dalam situasi
tertentu (Kis 16:3) dan bebas untuk menolaknya dalam situasi lain (Gal 2:3-5).
Fleksibilitas
budaya ini, bukanlah suatu pilihan bagi orang Kristen, tetapi PB menuntut hal
itu. Paulus menunjukkan hal ini, dengan
menjadi orang Yahudi pada saat ia bersama orang Yahudi dan menjadi orang
Yunani, pada saat ia berada di tengah-tengah orang Yunani. Ia berkata: “aku
telah menjadi apapun segala-galanya, supaya sedapat mungkin, aku memenangkan
orang bagi Kristus.”
Jadi
Perjanjian Baru mengarahkan kita untuk berada di atas pola-pola setiap
kebudayaan dunia, tanpa mengkompromikan prinsip-prinsip kebudayaan Alkitab PL; “Berada
di dalam dunia, tanpa menjadi serupa dengan dunia ini”. Itulah Fleksibilitas
budaya PB.
Kerendahan
Hati
Selain
Etika dan Fleksibilitas, PB juga menjujung tinggi prinsip kerendahan hati sebagai
suatu budaya dalam PB. Dalam Matius 6, Ketika Yesus berbicara mengenai Trilogi
Kristiani, yaitu Berdoa, Berpuasa dan memberi, Ia sungguh-sungguh menekankan
tentang Kerendahan hati. Dalam pengajaran Yesus tentang hal kerajaan Allah,
Yesus menyebutkan bahwa: “Jikalau seseorang tidak menjadi seperti anak kecil,
ia tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” Ahli Taurat yang merasa dirinya
baik dan benar, Yesus katakan, ia tidak dibenarkan Allah, sedangkan pemungut
cukai yang tidak berani menatap Allah karena merasa berdosa dan hina, Yesus
katakan: “orang ini pulang ke rumah dengan dibenarkan Allah”. (Luk 18:9-14).
Di sini, prinsip Alkitab mengenai kerendahan hati dapat berfaedah. Jikalau prinsip kerendahan hati dipisahkan dari garis-garis pedoman lain yang telah disebutkan dalam PB, maka Allah akan membenci kita, sebab Allah membenci orang yang congkak dan meninggikan orang yang rendah hati.
Di sini, prinsip Alkitab mengenai kerendahan hati dapat berfaedah. Jikalau prinsip kerendahan hati dipisahkan dari garis-garis pedoman lain yang telah disebutkan dalam PB, maka Allah akan membenci kita, sebab Allah membenci orang yang congkak dan meninggikan orang yang rendah hati.
KEBUDAYAAN MODERN
Untuk memahami budaya Modern,
Pertama-tama kita harus membedakan antara Kebudayaan Barat Modern dan
Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Tekonologis Modern merupakan sesuatu
yang kompleks. Penilaian-penilaian hitam putih, sebagaimana yang terdapat dalam
budaya PL, hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan pikiran.
Kebudayaan Teknologis Modern itu
kontradiktif, artinya, budaya ini bebas nilai, netral, bisa dipakai atau tidak.
Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan.
Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
Seorang Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat instumental.
Trian Hermawan, mencatat 10 Ciri Budaya Modern
sebagai berikut:
·
Penghormatan didasari atas kepribadian orang.
·
Benda
dipakai untuk pemberian sebagai tanda solidaritas
·
Orang
bebas menyuarakan aspirasi, semua dapat didebatkan, dipersoalkan.
·
Kedudukan berdasarkan
ketrampilan, kebijaksanaan, pengetahuan (achieved status).
·
Semua
orang mempunyai hak yang sama
·
Kritis terhadap diri
sendiri dan orang lain
·
Memisahkan
antara agama, faktor sosial, hukum, politik, ekonomi.
·
Alam disakralkan, dan pertanian dipeliharakan berdasarkan ilmu pengetahuan
·
Sukses
atau bencana, tidak dianggap sebagai berkat atau hukuman Tuhan
·
Kehidupan
lahiriah, mengendalikan kehidupan batiniah.[8]
Pergerakan budaya Modern seperti ini,
dipengaruhi oleh budaya-budaya asing. Masuknya budaya asing ke indonesia
disebabkan karena adanya krisis globalisasi yang ikut melanda indonesia.
Pengaruh tersebut berjalan sangat cepat dan menyangkut berbagai bidang
kehidupan. Teknologi yang berkembang pada era globalisasi ini, juga mempengaruhi
karakter sosial dan budaya dari lingkungan sosial .
· Dampak
Positif
Modernisasi yang terjadi di Indonesia yaitu
pembangunan yang terus berkembang di Indonesia dapat merubah perekonomian
indonesia dan mencapai tatanan kehidupan bermasyarakat yang adil, maju, dan
makmur. Hal tersebut diharapkan akan mewujudkan kehidupan masyarakat yang
sejahtera baik batin, jasmani dan rohani.
· Dampak Negatif
Budaya yang masuk ke Indonesia seperti cara
berpakaian, etika, pergaulan dan yang lainnya sering menimbulkan berbagai
masalah sosial diantaranya; kesenjangan sosial ekonomi, kerusakan lingkungan
hidup, kriminalitas, dan kenakalan remaja.
BAB III
IMPLEMENTASI KEBUDAYAAN PL DAN PB
DALAM KEBUDAYAAN MODERN
Ketika hendak
mengaplikasikan narasi-narasi PL, dan prinsip-prinsip dalam PB ke dalam dunia
Modern ini, maka Alkitab dan pengalaman-pengalaman masa kini, memperhadapkan
kita pada beberapa pertanyaan, berkaitan dengan serentetan kebudayaan, seperti:
- Apakah ada suatu
cara yang dapat dijadikan tolak ukur dalam menilai norma-norma yang ada?
- Bagaimana kita
seharusnya mengevaluasi adat-istiadat di masa PL, PB dan pada masa modern ini?
- Bagaimana kita
membedakan antara yang baik dan yang buruk dalam zaman modern ini?
Untuk menjawab rumusan masalah ini, kita harus menyadari
terlebih dahulu bahwa:
Pertama;
Kebudayaan berasal dari dua sumber, yaitu Agama dan alam. Agama adalah pengaruh
primer di sebuah masyarakat. Namun demikian, agam bukanlah satu-satunya
pembentuk kehidupan manusia, sebab kebudayaan tidak hanya tumbuh dari sistem
kepercayaan, melainkan juga dari Alam lingkungan kita.
Kedua; Perlunya
mengevaluasi kebudayaan masa kini, oleh karena perilaku-perilaku dunia modern,
juga berada di bawah pewahyuan-Nya. Alkitab penuh dengan nubuat-nubuat mengenai
perilaku-perilaku kejahatan dan pergeseran-pergeseran nilai kerohanian yang
akan terjadi pada zaman akhir ini.
Berdasarkan kedua pertimbangan di atas, maka:
Untuk mengaplikasikan narasi-narasi PL dalam zaman modern, kita harus melihat
praktek-praktek ini, sebagaimana Allah melihatnya. Artinya, ketika sekelompok
masyarakat di zaman modern, berjalan sesuai dengan petunjuk wahyu Allah, maka
kita harus menilainya secara positif.
Untuk menilai kebudayaan haruslah dimulai
dengan mengakui sifat religius manusia. Wahyu umum mewajibkan semua orang
berespon untuk taat kepada Allah. Perilaku umum manusia kuno dan modern,
sama-sama menunjukkan respon positif dan negatif terhadap wahyu Allah. Oleh
sebab itu, ketika kita mengaplikasikan narasi-narasi PL dalam kehidupn modern,
maka kita harus mengevaluasi kebudayaannya menurut standar Firman Allah.
Selain itu, mengevalusia kebudayaan juga
membutuhkan perspektif yang seimbang, sebab keanekaragaman dalam alam, juga
ikut memberntuk kehidupan manusia. Ketika kita mencermati dunia ciptaan Allah,
terbukti bahwa Allah menyukai keanekaragaman.
Kelompok manusia yang tinggal di pesisir mengembangkan gaya hidup yang bertolak belakang dengan mereka yang tinggal di padang gurun. Model transportasi antara mereka yang ada di pegunungan dan mereka yang ada di dataran, menunjukkan pola kebudayaan yang juga berbeda. Dan banyak pola hidup berbudaya yang mencuat dari keanekaragaman fisik tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan standart perspektif yang seimbang, untuk dapat mengevaluasi dan mengimplementasikan kebudayaan PL dan PB secara sah. Manusia modern, mempunyai kebudayaan tersendiri yang tidak sama dengan kebudayaan manusia PL, meskipun demikian, Prinsip PB dapat menjadi alat tolak ukur, yang menilai dan mengeliminasi norma-norma kontemporer dalam dunia modern.
Kelompok manusia yang tinggal di pesisir mengembangkan gaya hidup yang bertolak belakang dengan mereka yang tinggal di padang gurun. Model transportasi antara mereka yang ada di pegunungan dan mereka yang ada di dataran, menunjukkan pola kebudayaan yang juga berbeda. Dan banyak pola hidup berbudaya yang mencuat dari keanekaragaman fisik tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan standart perspektif yang seimbang, untuk dapat mengevaluasi dan mengimplementasikan kebudayaan PL dan PB secara sah. Manusia modern, mempunyai kebudayaan tersendiri yang tidak sama dengan kebudayaan manusia PL, meskipun demikian, Prinsip PB dapat menjadi alat tolak ukur, yang menilai dan mengeliminasi norma-norma kontemporer dalam dunia modern.
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil uraian tersebut,
maka dapat disimpulkan bahwa: Untuk menjembatani gap Kebudayaan antara
Kebudayaan Modern dan kebudayaan PL, kita harus menilai sebuah perikop dalam
terang PL, kemudian melihat prinsip dari kebudayaan tersebut, yang disahkan
dalam ajaran PB. Kemudian, Melihat Kultur Kristen Modern (budaya kita), sebagaimana
Allah melihatnya. Dengan prinsip-prinsip ini, kita akan membuat aplikasi yang
tepat dan sah dalam kebudayaan modern saat ini.*
Catatan:
Karya
ini dilindungi Undang-undang Hak Cipta pasal 72 No. 19 ayat 1 dan 2 tahun 2002.
Boleh dicopy untuk digunakan sebagai
bahan pengajaran, dengan mencantumkan alamat penulisan: (http//materikuliahS2melkiorayub.com) Terimakasih, Tuhan Yesus
memberkati.
DAFTAR PUSTAKA
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
[2] Muji Sutrisno & Herman Putranto, Teori-teori
Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hal 8
[3] Deddy Mulyana dan
Jalaluddin Rakhmat. Komunikasi Antarbudaya:Panduan Berkomunikasi dengan
Orang-Orang Berbeda Budaya, Bandung:Remaja Rosdakarya, 2006, hal.25
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya
[5] Christopher Danes, Masalah-Masalah Moral Sosial
Aktual Dalam Perspektif Iman Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hal. 58
[6]
Dianne Bergant, Tafsir Alkitab Perjanjian
Baru, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hal. 34
[7] Jhon Drane, Memahami Perjanjian Baru, Jakarta:
BPK. Gunung Mulia, 2005, hal. 174
[8] Trian Hermawan, Budaya Modern, Lampung:
Universitas Bandar Lampung, 20011, hal. 4
Kok kajian nya kurang mendalam ya? Padahal materi S2, bukunya juga sedikit sekali..
BalasHapus